Dalam hidup, kita selalu dihadapkan dengan dua kenyataan " ya atau tidak, mungkin atau tidak mungkin, sukses atau gagal ". Kedua kenyataan ini selalu datang beriringan, kadang memberi pengharapan, sering juga menuntun pada kekhawatiran, dan apapun hasilnya nanti, pada akhirnya akan di syukuri atau malah di sesali. Tidak ada realitas yang kita percaya menjadi tetap, kita seperti warna yang akan membantu pada kehidupan yang hampir harmonis.
Sebagaimana kita di masa kanak-kanak, sering didoktrin dengan aturan-aturan rasionalitas dan mungkin juga kepalsuan. Kita diberitahu apa yang mungkin dan apa saja yang tidak, dan ini bagaimana realitas kita lahir. Kita diberitahu bahwa jika menyentuh api akan terbakar, apa saja yang bisa menyebabkan kita sakit, terluka, realitas itu membuat kita percaya, hingga kita hidup dalam realitas yang di atur oleh logika. Lantas, apakah kita terus hidup dalam subjektif, memilih apa yang kita suka, sesuatu yang dianggap benar, tanpa melihat hal-hal objektif, tanpa pengalaman, untuk membuka diri kita akan segala macam yang tidak ketahui yang mungkin berbahaya atau tidak?
Kita semua dilahirkan dibekali nyali oleh yang Maha Hidup, disertai akal pikiran yang kesempurnaannya melebihi mahluk lain. Antara nyali dan akal tidak selalu berkekuatan sama, dan yang lebih mudah rusak adalah pikiran, sebab kita di kelilingi oleh dunia material yang akan hancur dan binasa. Sedangkan jiwa apabila belum mengalami kemampuan dan kualitas yang luas, ia akan tetap bodoh mengenali tentang kebahagiaan sejati.
Baiknya kita jalankan saja instrumen hidup ini bukankah ia juga akan memberikan kebahagiaan.
Hidup ini tidak mudah, tidak juga sulit. Tidak ada yang abadi, kita semua akan mati, tidak ada yang kekal. Tapi itu bukan berarti hidup kita tidak butuh cinta dan benci. Apabila materi yang membuat kita bahagia, bukankah sesaat kemudian tidak akan membuat kita menyukainya. Kenyataannya, pengejaran memberikan lebih banyak kebahagiaan daripada saat mendapatkannya. Jadi kita mengejar hal-hal materialis hanya untuk menghibur kita pada saat itu. Jika kita tahu kita akan mati, mengapa kita mengambil semua upaya ini untuk hidup? Yah, katakanlah alasannya untuk memulai sebuah keluarga atau untuk membangun rumah?
Banyak hal-hal yang bisa membuat kita bahagia. Keabadian itu jauh. Dan proses menuju keabadian itu dimulai dari realisasi diri. Ketika kita menyadari bahwa kita hidup didunia materialistik yang mudah berubah wujud, dan karenanya kita basah kuyub menuruti nafsu keserakahan , sedangkan berdoa hanya untuk mengikuti keinginan kita, proses realisasi diri akan mudah berjalan. Mungkin kita perlu bercermin seperti pohon, ia memiliki pikiran yang panjang dan selalu menyediakan diri sebagai tempat berteduh.
Keabadian itu tidak pernah ada, sekuat apapun kita mengejar dan mempertahankannya. Sesuatu yang datang pada akhirnya akan pergi jua. Tidak ada yang abadi. Dengan menyadari itu semua, waktu selalu menyediakan kita mengumpulkan bekal untuk perjalanan yang sempurna, kelak, di yaumil akhir. Bukankah, tak perlu menunggu menjadi orang hebat untuk bisa menjadi manusia bermanfaat. Keabadian itu ada pada diri kita sendiri, kita yang memilih kita pula yang menikmati hasilnya nanti.
No comments:
Post a Comment