Sungguh beruntung orang-orang yang masih memiliki rasa malu, karena rasa malu menggambarkan ukuran keimanan seseorang. Makin tinggi keimanan seseorang terhadap Tuhannya makin besar pula rasa malu yang akan tertanam didalam dirinya. Alî bin Abî Thâlib, berkata, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Malu merupakan salah satu akhlak yang menjadi hiasan bagi perilaku manusia. Fitrah yang harusnya dipertahankan bagi keturunan adam dan hawa ini, akan menjadi cahaya dan keagungan pada pemilik pribadinya. Lalu masih adakah perempuan dan laki-laki memiliki rasa malu dijaman yang serba narsis dan sibuk exploritas diri? Paling tidak kita bertanya pada diri sendiri, masih pentingkah rasa malu jadi pakaian kita sehari-hari? Bukan tidak mungkin, akan dianggap pemandangan yang tidak wajar dan tidak biasa bila menemukan pribadi-pribadi yang masih mempertahankan rasa malu.
Sederet predikat kurang meng-enakan menempel pada orang-orang yang nyaman dengan rasa malunya, dan rata-rata pribadi tersebut akan diberi label "Munafik". Klaim munafik yang salah kaprah. Sebab kemunafikan yang sesungguhnya adalah kemunafikan yang muncul dari rasa tidak malu kita terhadap Tuhan dan mahluknya. Orang yang memiliki rasa malu bukan tidak mampu melakukan hal-hal diluar kewajaran dan norma sosial juga agama. Mereka bisa berbuat apa saja, namun keinginan tersebut dibentengi oleh Iman.
“Jika kamu tidak memiliki sifat malu maka berbuatlah semaumu” -(alhadist). Setiap orang memiliki persepsi berbeda dalam mengukur rasa malu, dan ukuran ini dihubungkan dengan keluarga, teman, lingkungan. Ketiga faktor ini punya peranan penting dalam membentuk karakter seseorang dan hal itu bisa menyebabkan seseorang kehilangan rasa malu. Mungkin kita sering melihat acara di TV seperti ajang cari jodoh dan musik dimana semua umur berbaur menjadi satu, ikut bergoyang, " Siapa yang narsis dialah yang eksis ". Dan tidak tanggung-tanggung lagi, acara musikal dan goyang mabur ini sering berlangsung saat adzan maghrib hingga tengah malam.
Banyak orang yang menikmati dan terhibur dengan acara ini, lalu bagaimana dengan perasaan malaikat dan Allah yang maha menyaksikan. Duhhh...meski geram, masih saja Allah bersabar menunggu hambaNYA sadar diri dan bertaubat. Atau kita bisa melihat status update teman di media sosial, pamer photo dari zaman bahule hingga unjuk gigi "TAMPANG JELEK KALO TAJIR TETEP AJA DIBILANG TAMPAN, TOP MARKOTOP", tentu kita tidak kesulitan mengetahui karakter pribadi dan ukuran sifat malu seseorang. Jaman alay nan lebay bin narsis, masihkan kita peduli dengan rasa malu, malu dengan umur, malu dilihat keluarga dan teman, malu pada Tuhan yang punya semuanya. “Jika Allâh hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu” (HR. Bukhâri dan Muslim).
Sebuah riwayat berikut ini, semoga jadi bahan renungan untuk kita semua.
Amru Khalid dalam bukunya Akhlâq al-Mu’mîn menceritakan kisah seorang lelaki yang datang kepada Ibrâhim ibn Âdam untuk meminta nasehat karena kesulitannya untuk meninggalkan dosa dan maksiat. Berikut percakapan mereka:
- Laki-laki itu berkata, “wahai imam, aku ingin bertobat dan meninggalkan dosa. Tetapi tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allâh.”
- Ibrâhîm ibn Âdam berkata, “jika engkau ingin bermaksiat kepada Allâh, jangan bermaksiat di bumi-Nya.”
- Orang itu bertanya, lalu di mana aku bisa bermaksiat?”
- “Di luar buminya”, jawab Ibrâhim.
- Orang itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin, sebab seluruh bumi ini milik Allâh?”
- Maka, Ibrâhim berkata, “tidakkah engkau malu bahwa seluruh bumi ini milik Allâh tetapi engkau masih berbuat maksiat di atasnya?”
- Lalu Ibrâhîm melanjutkan, jika engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rizki-Nya.”
- Orang itu menjawab, “bagaimana aku bisa hidup?”
- Ibrahim berkata, “tidakkah engkau malu memakan rizki-Nya sementara engkau bermaksiat kepada-Nya?
semoga bermanfaat dan mohon maaf bila kurang berkenan, Salam santun
No comments:
Post a Comment