Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah. Disana Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)
1.2. Sunnah
Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)
مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu `anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu `anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum`at termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu`lim Bifawaidi Muslim berkata:
“Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum`at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.
Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku`. Maka bila makmum itu masih sempat ruku` bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku` di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah radhiyallahu `anhu“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi) .
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنِْ صَلاَةِ الجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُهُ - رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.
Shalat Dzhur Setelah Shalat Jumat
Ada kasus pada masjid tertentu, setelah selesai shalat Jumat, langsung diadakan shalat Dzhuhur berjamaah. Alasannya, karena syak atau keraguan yang muncul takut shalat Jumat itu tidak sah, lantaran beberapa alasan :
Pertama, tidak jauh dari masjid itu terdapat masjid lain yang jaraknya cukup dekat. Padahal konon ada aturan bahwa bila ada dua masjid berdekatan yang sama-sama melaksanakan shalat Jumat, maka salah satunya tidak sah. Yang tidak sah adalah yang shalatnya belakangan.
Kedua, ragu kalau-kalau di antara jamaah yang ikut shalat itu bukan termasuk orang yang muqim. Sebagaimana di perkotaan dimana umumnya masjid-masjid dipenuhi jamaah saat shalat Jumat. Namun belum tentu orang-orang yang memenuhi masjid itu termasuk orang yang muqim di sekitar masjid.
Sementara dalam beberapa kitab fiqih di mazhab As-Syafi`i, ada disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus dilakukan oleh minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka tidak sah shalat Jumat itu.
Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari 40 orang, tetapi banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir, sehingga jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum``at seperti ini juga dianggap tidak sah.
Sehingga dengan demikian muncul kemudian ide untuk melaksanakan shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat.
Ini merupakan beberapa masalah yang sering diajukan kepada penulis. Bahkan ada seorang ketua takmir masjid yang berterus terang kepada penulis, bahwa dirinya pada setiap pulang dari shalat Jumat di masjid, selalu melakukan shalat Dzhuhur lagi di rumahnya. Hal itu dilakukan karena alasan yang pertama di atas.
Untuk itu penulis perlu memberikan jawaban agar tidak menimbulkan masalah.
Pertama : Memang benar ada ketentuan bahwa di dalam satu wilayah tidak boleh diadakan beberapa shalat Jumat yang berbeda. Hal itu mengingat tujuan shalat Jumat adalah menyatukan seluruh kaum muslimin di satu tempat, sesuai dengan istilah jumat yang bersalah dari berkumpul atau berhimpun.
Namun ketentuan ini tidak lantas menjadi sebuah syarat atau ketentuan yang bersifat kaku. Hal itu karena alasan yang sangat teknis di masa sekarang, apalagi di tengah perkotaan, dimana kebanyakan masjid-masjid yang ada tidak menampung jumlah jamaah yang membeludak. Sehingga dirasa perlu dibangun masjid lainnya agar dapat menampung jamaah.
Tentu saja akan lebih baik bila jamaah dapat tertampung di dalam masjid, dari pada shalat di jalan sehingga mengganggu lalu lintas jalan. Untuk tidak mengapa kalau dalam jarak yang tidak terlalu jauh juga didirikan masjid yang juga mengadakan shalat Jumat.
Bahkan ketika di padang Arafah pun, tiap tenda boleh melakukan khutbah Arafah sendiri-sendiri, padahal ada khutbah yang diselenggarakan oleh pemerintah Saudi Arabia.
Kedua, masalah kekhawatiran bahwa diantara jamaah shalat Jumat terdiri dari orang yang bukan muqim.
Kita bisa menjawab bahwa istilah muqim itu adalah lawan kata dari musafir. Orang yang muqim adalah orang tidak dalam status musafir. Sehingga dalam hal ini, meski jamaah di masjid perkotaan itu memang tidak berumah di dekat masjid, bukan berarti statusnya adalah musafir. Mereka tetap dianggap orang yang muqim, meski rumahnya jauh dari masjid.
Sebagai bukti bahwa mereka bukan musafir tapi orang yang statusnya muqim adalah bahwa mereka belum atau tidak boleh melakukan shalat jama` dan qashr. Seandainya mereka bukan muqimin tapi termasuk musafir, seharusnya mereka boleh menjama` dan mengqashar shalat, dan tidak perlu ikut shalat Jumat.
Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempat yang Sama
Di dalam mazhab As-Syafi`i memang ada ketentuan bahwa tidak boleh ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan. Dalam beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tetap ada pengecualiannya. Pengecualinnya adalah bila di satu masjid sudah penuh dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang berdekatan yang keduanya sama-sama menyeleng-garakan shalat Jumat sangat dimungkinkan, selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah.
Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur setelah shalat Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu tidak syah adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama. Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya ada dalam satu mazhab, sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang seketat itu. Seperti batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada dua Jumat berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Maka memang mudah, mengapa harus dibuat susah?
Sementara di sisi lain, kita sebagai umat Islam masih kebanjiran pe-er lain yang harus diprioritaskan. Ketimbang kita meributkan hal-hal yang hanya baru dalam dugaan, bukankah sebaiknya kita memikirkan hal-hal yang lebih nyata dan mendesak?